Saat ini, jenazah Mbah Maridjan disemayamkan di RS Sardjito, Sleman,  Yogyakarta, Rabu (27/10). Sebelumnya, tim evakuasi menemukan Mbah  Maridjan wafat dalam posisi sujud.
"Ditemukan di dapur, posisinya sujud," kata anggota Tim SAR, Suseno,  saat ditemui di RS Sardjito.
Lokasi kediaman Mbah Maridjan di Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan,  Sleman hanya berjarak lima kilometer dari puncak letusan Gunung Merapi.  Hal ini sangat mengancam keselamatan Mbah Maridjan.
Awan panas atau disebut wedus gembel sudah menyelimuti wilayah itu.  Selasa (26/10), sekitar pukul 22.00 malam, Mbah Maridjan sempat ditemui  tim evakuasi. Ketika diajak meninggalkan rumahnya, ia menolak. Padahal  saat itu ia sudah dalam kondisi lemas.
Saat itu, kondisi jalan menuju rumah Mbah Maridjan sangat mencekam,  karena terbakar. Hawa juga terasa panas. Banyak pohon bertumbangan dan  mayat bergelimpangan di dekat rumah Mbah Maridjan.
Sebagai juru kunci, Mbah Maridjan memang tak pernah mau meninggalkan  Gunung Merapi. Lelaki renta berusia 83 ini pernah mengatakan, "Kalau  saya ikut ngungsi akan ditertawakan anak ayam." 
Mbah Maridjan yang bernama asli Mas Penewu Suraksohargo, ini lahir di  Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman pada 1927. Ia  mendapat amanah sebagai juru kunci dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX.  Setiap Gunung Merapi akan meletus, warga setempat selalu menunggu  komando dari beliau untuk mengungsi.
Ia mulai menjabat sebagai wakil juru kunci pada 1970. Jabatan sebagai  juru kunci lalu ia sandang sejak 1982.
Sejak kejadian Gunung Merapi mau meletus pada 2006, nama Mbah Maridjan  menjadi terkenal. Saat itu Gunung Merapi memang diperkirakan akan  meletus dan menumpahkan lahar panasnya dalam hitungan hari. 
Hiruk pikuk warga dan pemerintah terlihat dengan semakin meningkatnya  status dan aktivitas gunung berapi paling aktif di dunia ini. Namun Mbah  Marijan tetap tenang, seolah Merapi tak tengah mengancamnya.
Keberaniannya ini memunculkan spekulasi bahwa lelaki tua ini sangat  sakti, memiliki 'ilmu' sangat tinggi sehingga puluhan tahun sudah  mengemban tugas berat dari Sri Sultan untuk menjadi juru kunci Merapi.  Padahal, Mbah Maridjan hidup seperti kebanyakan warga Gunung Merapi,  tinggal di rumah sederhana, dan sesekali sepasang kakinya yang mulai  rapuh mendaki Gunung Merapi. 
Ia pun sering didapati sedang duduk berdzikir di masjid yang ada di  depan rumahnya.
Mbah Marijan memang selalu tampil tenang. Ia tak menganggap kepulan asap  di puncak Merapi sebagai ancaman. Meski demikian ia tetap meminta warga  waspada.
Lelaki yang tak mau berbahasa Indonesia ini tak ingin menjawab secara  tegas ketika pertanyaan mengarah kepada kemungkinan meletusnya Gunung  Merapi pada 2006. Baginya, Allah belum memberi petunjuk berupa  tanda-tanda akan meletusnya Merapi sehingga ia tak meminta warganya  turun dan mengungsi. 
Kenyataan ini sungguh berlawanan dengan pernyataan Sri Sultan HB X yang  meminta warga di lereng gunung segera mengungsi. "Jika Sultan meminta  warga turun, berarti itu yang bicara bukan Sultan, melainkan Gubernur,"  ujar Mbah Maridjan.
Ketika itu Mbah Marijan justru berharap Sultan dan pemerintah daerah  mengizinkannya melakukan doa bersama memohon keselamatan agar Merapi tak  'marah'. Bagi Mbah Marijan, yang dimaksud doa bersama itu tidak mesti  membuat acara besar seperti layaknya acara 'selamatan' di  kampung-kampung dengan mengundang banyak orang. 
"Cukup semua masyarakat bersama-sama berdoa, boleh dari rumahnya  masing-masing, meminta kepada Allah agar Merapi tak jadi meletus," ujar  Mbah Maridjan.
Sejak Senin (25/10), pemerintah menyatakan status 'Waspada Merapi'.  Pemerintah pun mengungsikan para warga yang tinggal di sekitar gunung  itu.
Namun Mbak Maridjan tetap bersikukuh tinggal di rumah. "Saya masih  kerasan dan betah tinggal di sini. Kalau ditinggal, nanti siapa yang  mengurus tempat ini," kata Mbah Maridjan.
Meski demikian, ia meminta warga menuruti imbauan pemerintah. "Saya  minta warga untuk menuruti perintah. Mau mengungsi ya, monggo,"  kata dia.
Mbah Maridjan justru berpendapat, jika ia pergi mengungsi, dikhawatirkan  warga akan salah menanggapi lalu panik. Mereka dikhawatirkan mengira  kondisi Gunung Merapi sedemikian gawat.
"Sebaiknya kita berdoa supaya Merapi tidak batuk," kata dia.
Warga juga diimbau memohon keselamatan pada Tuhan, agar tak terjadi hal  yang tak diinginkan kalau nantinya Merapi benar-benar meletus.
Kapan Merapi meletus menurut Mbah Maridjan?
Mbah Maridjan mengaku tak tahu. Apalagi, ia tak punya alat canggih  seperti yang dimiliki Badan Vulkanologi. 
"Hanya Tuhan yang tahu kapan Merapi akan meletus. Saya tidak punya kuasa  apa-apa," jawab dia.
Dan kini Merapi telah meletus. Membawa nyawa juru kunci yang selalu  amanah menjaga.
Selamat jalan, Mbah Maridjan.
Home » SEKILAS TENTANG MBAH MARIDJAN » Pemimpin Amanah Bernama Mbah Maridjan
 




 
 
 
 
 
 
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar